Senin, 30 Januari 2012

Reblogged from Panji Fortuna Hadisoemarto : Gagal UMPTN? It’s OK selama tetap bisa masuk Harvard!


Tahun 1996 saya mengambil Ujian Masuk Perguruan Tinggi Negeri (UMPTN) untuk pertama kalinya, saya gagal. Hari ini saya sedang menyelesaikan pendidikan Doktor saya di Harvard School of Public Health. Berikut cerita saya:
Saya anak bungsu dari enam bersaudara. Ayah saya seorang pegawai negeri, Ibu saya sehari-hari menerima pesanan jahitan untuk menutupi kekurangan gaji Ayah saya. Hidup keluarga kami memang pas-pasan, tapi Ayah saya menuntut kami semua untuk mempunyai gelar sarjana. Syaratnya, harus masuk perguruan tinggi negeri.
Ayah saya selalu bilang kalau kami gagal masuk ke universitas negeri, gantinya hanya sepasang kambing. Tidak ada uang untuk universitas swasta.  Oleh karenanya kami harus belajar mati-matian supaya bisa lulus UMPTN. Dan, tidak ada bimbel-bimbelan. Tidak ada uang juga buat itu.
Karena Ayah saya lulusan ITB (dengan harga diri ITB-nya yang tinggi), Ayah saya juga selalu menantang kami untuk masuk ITB. Motor Vespa bututnya pun dijadikan hadiah. Sayangnya, semua kakak saya tidak ada yang masuk ITB, ada yang gagal, ada yang tidak berminat sama sekali. Saya sebagai orang terakhir yang mengambil UMPTN tentunya sangat diharapkan bisa berkuliah di ITB. Saya memang punya minat sangat besar untuk menjadi seorang computer programmer, prestasi saya juga tidak jelek-jelek amat. Saya selalu masuk SMP dan SMA paling favorit di kota saya tinggal.
Lalu datanglah saatnya saya mengambil UMPTN. Saya gagal.
Saya kecewa berat. Kedua orang tua saya juga kecewa berat. Yang lebih membuat saya khawatir, saya takut sekali kalau masa depan saya cuma jadi peternak kambing. Haha. Tidak ada yang buruk dari profesi peternak kambing sih.. cuma.. Sudahlah.
Yah, tapi kita tahu lah, orang tua (kebanyakan) tidak kejam seperti itu. Mereka cuma ingin anak-anaknya berhasil. Akhirnya saya tahu kalau ayah saya tidak ingin ada anaknya yang jadi peternak kambing.
Singkat cerita, saya mendaftar dan diterima di sebuah politeknik di Kota Bandung. Dulu sih namanya Politeknik ITB. Lumayan kan? Masih ada ITB-ITBnya? Biarpun begitu, buat saya itu masih tidak bisa diterima. Lulusan politeknik bukan sarjana, begitu saya pikir. Tapi saya toh sudah kadung gagal, jadi saya pasrah saja. Untuk sementara.
Untuk menyemangati diri sendiri, saya mulai membaca-baca tentang orang-orang sukses, seperti Bill Gates yang menjadi favorit saya. Saya melihat ada kesamaan di antara mereka: mereka adalah orang-orang cemerlang yang tidak terkungkung oleh sekolah. Bill Gates tidak punya gelar sarjana, kan? Saya jadi berpikir, gelar sarjana bukan tujuan, itu hanya jalan. Yang penting adalah self determination.
Self determination.
Saya jadi berpikir kalau di mana saya berada, itulah jalan saya. Kata orang: “yesterday is history, tomorrow is mystery, today is a gift. That’s why we call it the present.” Mungkin saya kemarin gagal, tapi saya tidak boleh gagal lagi.
Di politeknik saya belajar sungguh-sungguh. Lagi pula, siapa yang tahu di mana ujung jalan yang satu ini kan? Walaupun di poltek pun saya hampit kena DO karena berlibur, tanpa surat ijin, selama seminggu. Hehe. Untung saja IPK saya 3.9 yang membuat ketua jurusan saya bertekuk lutut (lebih tepatnya: tidak tega) sehingga tidak mengeluarkan surat DO. Sebagai gantinya saya harus bekerja di lab selama satu minggu penuh, PLUS wejangan setengah jam full.
Kebetulan, karena saya ambil teknik sipil, mata-mata pelajaran yang diujikan di UMPTN seperti matematika dan fisika diajarkan lagi, juga Pancasila dan Bahasa Inggris. Lalu saya mengambil UMPTN lagi di tahun berikutnya. Siapa tahu masih bisa memenuhi harapan orang tua untuk masuk ITB, walaupun saya sudah tidak terlalu peduli. Saya sedang menjalani jalan saya, saya sedang mencari tahu di mana ujung jalan yang satu ini.
Saya benar-benar tidak peduli tentang status kelulusan UMPTN saya sampai-sampai saya tidak tertarik buat membeli koran pengumuman UMPTN. Saya ingat, saya malah bangun hampir kesiangan untuk berangkat ke kampus. Persis sebelum saya meninggalkan rumah, telepon berdering. Di ujung telepon, seorang teman SMA saya berseru dengan gembira: “Panji, selamat ya diterima UMPTN!”. Saya bilang “Oya? Keterima di mana ya?” Haha. Konyol.
Ternyata saya diterima di pilihan kedua. Bukan ITB, tapi fakultas kedokteran di Universitas Padjadjaran. Ya sudahlah, kan orang tua ingin semua anaknya punya gelar sarjana, bukan D3. Saya sebenarnya tidak terlalu berminat untuk menjadi dokter, saya bahkan tidak tahu kalau kampus FK Unpad sudah pindah ke Sumedang. Duh! Tapi lagi-lagi saya berpikir, ini pasti jalan lain. Mungkin ujungnya lebih baik dari yang kemarin. Jadi saya berbelok.
Di FK, saya masih berpikir lagi kalau belajar bukan satu-satunya cara untuk mencapai kesuksesan. Saya aktif di organisasi mahasiswa. Malahan, saya lebih aktif di Senat Mahasiswa daripada di ruang kelas. Pernah satu semester IP saya anjlok sampai 2.5. Tapi anehnya kok orang tua saya tidak terlalu peduli ya? Mungkin karena saya sudah masuk FK. Tapi saya sadar kalau IPK juga penting. Saya berjuang lagi, paling tidak supaya kepala saya ada di atas air. Saya targetkan IPK saya minimal harus 3.0.
Saya terus belajar dan bermain (di organisasi). Akhirnya, dari berbagai kegiatan kemahasiswaan yang pernah saya ikuti saya menemukan minat saya di kesehatan masyarakat dan penelitian. Tidak semua mendukung minat saya ini. Kakak saya (yang sudah jadi dokter) bilang, “Buat apangerjain kesehatan masyarakat, nggak ada uangnya.” Dibandingkan spesilasisasi, memang betul sih. Tapi saya pikir, toh saya memang tidak pernah ingin jadi dokter.
Self determination.
Singkat cerita, saya hampir menyelesaikan studi saya. Di rotasi terakhir saya, di bagian THT, saya melihat beasiswa Ausaid sedang membuka aplikasi dan saya memberanikan diri untuk apply. Waktu saya mengisi formulir saya jadi sadar kalau saya memiliki banyak sekali kekurangan. Tapi sekedar coba-coba apa ruginya. Untuk surat rekomendasi, karena saya tidak tahu harus ke mana, saya pergi ke tetangga saya. Lho? Kebetulan tetangga saya adalah seorang guru besar di FK Unpad yang kebetulan juga dokter saya waktu saya masih bayi. Hehe. Konyol memang.
Mengetahui maksud kedatangan saya, beliau bilang, “Waduh, saya kan sudah gak tau kamu seperti apa sekarang. Dulu kamu cuma jadi pasien saya waktu kamu masih bayi.” Haha. Betul, memang betul itu. Geli sendiri saya. Walaupun akhirnya beliau setuju kalau namanya boleh “dicatut” untuk rekomendasi.
Waktu saya berada di ruangan beliau, anaknya, yang juga seorang pengajar di FK Unpad, juga sedang berada di sana. Kebetulan saya pernah ikut serta menjadi surveyor di penelitian beliau. Beliau bertanya, “Kamu sudah lulus? Masih tertarik penelitian?” Saya jawab “Dua minggu lagi selesai, Dok. Iya, masih tertarik…” Siapa sangka, ternyata di penelitian yang ia kelola akan ada lowongan untuk dokter kira-kira persis setelah saya selesai dua minggu kemudian. Wah, sebelum diwisuda saya langsung dapat posisi dokter di penelitian tersebut. Ujung jalan ini mulai terlihat, saya pikir.
Sial, ternyata penelitian tersebut akan selesai dalam dua bulan. Di pengambilan data terakhir, peneliti-peneliti dari kantor penelitian di Jakarta juga datang untuk untuk supervisi. Siapa yang menyangka, salah seorang supervisor dari Jakarta menawarkan posisi yang akan lowong di Jakarta untuk penelitian berikutnya. Lagi-lagi saya dapat pekerjaan sebelum lowongan dibuka. Jalannya semakin jelas saja, saya pikir.
Akhirnya saya bekerja di Jakarta. Tidak seperti teman-teman dokter baru yang jaga malam di berbagai klinik, saya kerja kantoran. Saya menikmati pekerjaan saya. Sangat menikmati. Gaji saya waktu itu 4 juta per bulan, plus asuransi kesehatan dan jatah cuti. Kalau ada dinas ke luar kota, per-diemnya saja bisa lebih besar dari gaji ayah saya.
Kira-kira berjalan satu setengah tahun saya bekerja di Jakarta, di akhir tahun 2006, saya ditelepon oleh seorang teman saya. Teman baik. Katanya, ibunya yang seorang dosen di bagian Ilmu Kesehatan Masyarakat di FK Unpad akan pensiun. Beliau menawarkan posisi yang kosong itu ke saya.
Saya sebenarnya paling tidak suka KKN seperti itu, tapi selama bukan saya yang kasak-kusuk, saya pikir tidak apa-apa lah. Lagipula saya ingin sekali jadi dosen, dan naga-naganya kalau saya tidak mengambil kesempatan ini, orang lain akan mengambilnya via KKN juga. Bismillah. Saya terima. Lagipula, saya pikir saya cukup berbakat jadi dosen.
Ayah saya berpikir kalau saya sudah gila. Katanya, selama karirnya sebagai pegawai negeri (yang jujur), Ayah saya belum pernah dapat gaji 4 juta per bulan, plus fasilitas-fasilitas lain. Entah mana yang lebih membuat Ayah saya kecewa, saya tidak lulus UMPTN atau keputusan saya untuk menjadi seorang PNS. Tapi lagi-lagi saya pikir, ini ada pintu terbuka. Siapa tahu ujung jalan di balik pintu ini lebih baik. Walaupun awalnya pasti sangat penuh penderitaan (bayangkan, saya ditawari kontrak dengan honor 500 ribu per bulan), saya terima.
Self determination.
Januari 2007, saya mulai bekerja sebagai dosen kontrak. Untung saja supervisor saya di Jakarta berbaik hati dan masih memberi saya posisi di penelitian. Setidaknya saya bisa bekerja tanpa mengeluhkan gaji kontrak saya yang 500 ribu per bulan itu. Belum lama saya bekerja, mungkin bulan Maret atau April, secara tidak sengaja saya melihat beasiswa Fulbright sedang membuka aplikasi sewaktu saya sedag browsing di internet. Dengan sedikit waktu yang tersisa, saya lengkapi berkas aplikasi. Sedikit berbeda dengan waktu saya melamar Ausaid dua tahun sebelumnya, kali ini saya punya sedikit modal. Saya lamar untuk mengambil S2 di bidang kesehatan masyarakat.
Di bulan Agustus (kalau tidak salah) saya dapat panggilan wawancara Fulbright. Alhamdulillah. Sialnya, sebelum saya mdenerima panggilan tersebut, saya sudah berkomitmen untuk mengikuti prajabatan CPNS. Saya mencoba untuk pindah jadwal. Entah memang tidak bisa, entah karena saya tidak bawa amplop, saya tidak bisa pindah jadwal. Atasan saya di kampus sangat mendorong saya untuk ikut prajab (dan meninggalkan wawancara). Teman-teman yang lain ada yang seperti itu, ada juga yang menyarankan saya wawancara saja.
Akhirnya, tanpa restu kepala bagian, saya memilih wawancara beasiswa. Saya pikir, prajab akan ada lagi. Wawancara? Kalau sekarang saya tidak datang, mungkin tidak akan ada kesempatan kedua. Kalau saya coba, saya mungkin gagal. Kalau saya tidak coba, saya pasti gagal.
Self determination.
Saya diterima! Tapi saya masih tidak sepenuhnya gembira karena ternyata beasiswa ini pun ada plafonnya. Berapa? Yang jelas di bawah ongkos untuk pergi ke universitas top seperti Harvard atau Princeton. Sial. Ya sudah lah, saya serahkan keputusan tentang pilihan universitas ke penyelenggara beasiswa. Akhirnya saya masuk ke sebuah program S2 kesehatan masyarakat kecil di Georgia State University yang baru berusia 4 tahun. Duh! Tapi saya jalani saja. Ini ada pintu terbuka, siapa tahu jalan yang ini ujungnya lebih baik. Sejelek-jeleknya, saya bisa pergi ke Amerika.
Ternyata di sini saya bertemu orang2 hebat. Ada yang pernah menjadi pejabat di World Health Organization atau US-Center for Disease Control. Dan, dengan jumlah mahasiswa yang tidak banyak, semua orang saling kenal. Kalau ada yang berpotensi, semua orang tahu, demikian juga sebaliknya sih, kalau ada berpotensi negatif, semua juga pasti tahu. Walaupun programnya kecil dan mungkin tidak memenuhi standar yang tinggi, saya coba belajar sebaik-baiknya, dan nampaknya saya dianggap cukup berpotensi oleh profesor-profesor saya.
Menjelang akhir studi saya di Georgia, dengan didukung atasan saya yang baru di Indonesia, saya melamar ke program S3 di beberapa universitas top:Harvard, Emory dan Johns Hopkins. Buat aplikasi saja saya habis mungkin $300 lebih. Untung saja ada uang saku dollar dari Fulbright. Kalau saya sudah pulang ke Indonesia, gaji PNS saya tidak cukup untuk biaya aplikasi saja. Paling tidak saya sudah coba, begitu saya pikir.
Sedikit menyimpang dari cerita ini, sewaktu bekerja di Jakarta saya pernah bertaruh dengan supervisor saya untuk memiliki email dengan embel-embel @harvard.edu. Terserah apa yang ada di depannya. Yang duluan dapat janitor@harvard.edu pun menang! Haha.
Eh, siapa yang tahu, ternyata saya diterima di Harvard! Supervisor saya tadi menjadi orang pertama yang saya email. “I win.” Begitu saya tulis, sambil melampirkan surat penerimaan dari Harvard.
Jujur saja, saya masih kurang yakin kalau saya memang semampu itu. Waktu saya bertemu dengan salah seorang profesor saya memberi saya rekomendasi, beliau bercerita kalau beliau baru saja bertemu dengan seorang temannya yang sekarang profesor di Harvard dan juga anggota komisi penerimaan mahasiswa baru. Di forum itu beliau bercerita tentang saya dan, menurut beliau, temannya tersebut berjanji akan memberi high consideration kepada saya. Program kecil yang di bawah standar?
You’ll never know what you’ll get unless you give it a try.
Saya senang sekali. Tapi lagi2 tidak bisa sepenuhnya senang.  Hampir bersamaan dengan pemberitahuan kalau saya diterima, Office of Student Financial Services (OSFS) memberitahukan jika saya tidak akan mendapat bantuan dana. Aduh. Saya perlu $55,000 setahun!
Setengah putus asa saya email mereka dan mengatakan kalau saya memerlukan bantuan dana. Alhamdulillah, tidak lama berselang saya dapat kabar kalau saya dapat Presidential Scholarshipyang membiayai ongkos tuition ($34,000 per tahun). Tapi, masih ada kekurangan $21,000/tahun dan menurut OSFS tidak akan ada lagi bantuan untuk saya.
Seperempat putus asa saya email ke departemen Global Health yang menerima saya, kalau-kalau mereka punya assistanship. Sayangnya, menurut mereka, assisstanship tidak diberikan kepada mahasiswa tahun pertama. Sampai tenggat memberikan jawaban, saya belum memperoleh dana tambahan yang saya perlukan. Saya telepon ke OSFS, tidak ada. Ke departemen, tidak ada. Tapi mereka lalu bertanya, “Kalau tidak ada beasiswa tambahan, Anda tetap akan datang kan?” Pertanyaan macam apa ini? Saya bingung sekali. Saya ragu. Entah apa yang ada di kepala saya, saya jawab”Ya! Tentu saya akan datang.” Saya sudah diterima, tidak ada alasan apa pun untuk tidak pergi.
Self determination.
Saya memperoleh perpanjangan waktu untuk memberi jawaban saya. Lumayan buat memutar otak cari-cari dana. Saya pikir, bayar SPP universitas swasta di Indonesia saja tidak mampu, bagaimana bisa bayar kuliah di Harvard? Eh, siapa sangka, dua hari berselang saya mendapat kabar kalau Harvard bisa memberikan beasiswa penuh, $55,000/tahun selama lima tahun, untuk saya. Alhamdulillah.
Sebenarnya, saya pikir ini bukan waktu yang tepat buat berbagi ‘cerita sukses’. Perjalanan saya baru saja dimulai. Tapi tak apalah. Saya pikir ini waktu yang tepat buat berhenti sejenak dan berkaca tentang perjalanan yang sudah saya tempuh sampai sejauh ini. Tidak mudah. Tapi setiap saya ingat tentang self determination, bahwa saya berada di sini karena saya ingin berada di sini, rasanya saya bisa menjalani semuanya dengan ringan.
Self determination
Sumber : Panji 


0 komentar:

Posting Komentar

terima kasih telah melakukan komentar di web ini